pusaran.net – Vonis bebas yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya kepada terdakwa Ronald Tannur terus mendapat kecaman publik. Salah satunya dari Indonesia Civil Right Watch (ICRW), yang menilai majelis hakim telah berbuat sembrono dengan menjatuhkan vonis bebas tersebut.
Menurut Direktur Advokasi ICRW, Arif Budi Santoso SH SIP, fakta-fakta dakwaan terhadap lelaki pemilik nama lengkap Gregorius Ronald Tannur, yang telah menganiaya hingga menyebabkan meninggalnya Dini Sera Afrianti telah diketahui publik. Hal ini sama saja hakim nyata-nyata telah menantang, melukai dan dapat memancing amarah publik.
“Kasus ini sudah berkali-kali viral dan fakta-fakta bahwa terdakwa telah menganiaya dengan memukuli dan bahkan melindas korban dengan mobilnya, sudah tersebar luas ke publik melalui sosial media. Mengapa hakim masih tetap berani menjatuhkan vonis bebas?. Ada apa?. Ini kan sama saja menantang dan melukai serta dapat memancing amarah publik,” tegas Alumni Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini.
Menurut dia, majelis hakim seharusnya tidak perlu ragu memvonis terdakwa bersalah. Sebab, telah ada dua alat bukti yang sah. Antara lain hasil visum et repertum yang membuktikan adanya kekerasan pada korban. Yaitu pendarahan pada dada, yang diduga akibat lindasan mobil dan bukti rekaman CCTV, serta keterangan saksi-saksi yang menunjukkan adanya pertengkaran antara terdakwa dan korban.
Baca Juga: Kasus Dugaan Cek Kosong Rp 3 Miliar, Saksi Ahli Perdata Beri Keterangan di Pengadilan
“Kalau bukti-bukti yang sudah kuat begini, majelis hakim masih berani meloloskan, ini benar-benar penegakan hukum di negeri ini sudah sakit parah. Coba bayangkan kalau tidak ada rekaman CCTV dan saksi-saksi yang berani mengungkap, dan kasus ini tidak viral. Sudah viral videonya saja vonisnya masih begini,” ungkapnya.
Berkaitan dengan pertimbangan hukum dari majelis hakim yang menyebut tidak ada saksi yang melihat langsung penganiayaan yang berujung tewasnya korban, Arif menilai hal itu alasan yang sebenarnya sudah usang dan terbukti berulang kali patah dalam praktik penegakan hukum di pengadilan.
Malahan, kata Arif, hakim seharusnya mengacu pada teori Saksi Berantai atau Kettingbewijs yang diadopsi dalam hukum positif di Pasal 185 ayat 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dimana Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu sama lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
Baca Juga: Kuasa Hukum Terdakwa: Saksi JPU Beri Keterangan Berubah-Ubah
“Kalau setiap tindak pidana harus ada saksi yang melihat langsung, maka akan banyak pelaku kejahatan yang lolos dari hukuman. Itu sebabnya, KUHAP kita pun telah mengantisipasi dengan pengakuan terhadap pembuktian Saksi Berantai. Dan itu dalam praktik juga sudah diterapkan, seperti kasus pembunuhan Munir dan kasus suap Miranda Gultom,” jelasnya.
Dalam persidangan, imbuh Arif, terdapat hal-hal yang memberatkan terdakwa, seperti awalnya berpura-pura tidak mengenal korban. Saat diangkut di mobil terdakwa, yang diketahui anak anggota DPR RI dari PKB itu, korban juga hanya diletakkan di bagasi.
“Ada juga yang menerangkan korban juga tidak langsung dibawa ke rumah sakit, tetapi malah ke apartemen korban, dimana di situlah korban di perkirakan meninggal dunia,” tambahnya.
Baca Juga: Pasca Hakim Tolak Gugatan, KSDR Terus Upaya Cari Keadilan
Arif menambahkan, sudah tepat jika sekarang Kejaksaaan Agung mengajukan Kasasi ke MA, ditambah Komisi Yudisial dan Badan Pengawas MA turun tangan memeriksa tiga hakim yang menangani dan memutus perkara ini.
Terlebih, kata Arif, aroma adanya intervensi sangat kuat terasa. “Sejak awal penyidikan sudah kelihatan miring. Untung waktu itu ada advokasi dan tekanan publik yang kuat sehingga kasus ini akhirnya bisa bergulir hingga ke pengadilan,” katanya. (pn3)
Editor : Wasi